January 20, 2013

no title

Aku berjalan malas di antara kotak-kotak kosong yang tidak berdebu namun terasa kusam, di antara lantai-lantai bening yang nampak ingin diganti, diantara berjejer almari-almari yang ingin ditengok dan diantara berjuta barang yang berebut ingin disentuh. Itu semua membuatku lelah, tak berdaya. Tak bisakah sedikit saja mereka bertukar posisi denganku? Tak bisakah jika aku saja yang menjadi kotak-kotak kosong berwarna cerah yang bersih itu? Tak bisakah aku jadi mereka yang ingin ditengok, dan bukan menjadi seseorang yang harus menengok sedikit saja? Sejujurnya aku lelah dengan dering telepon yang meraung-raung untuk ditanggapi. Tak bisakah jika aku saja yang meraung, dan bukan yang harus menanggapi?
Setidaknya aku bersyukur, aku yang diminta dan bukan meminta.


Semuanya terasa begitu klise, seperti halnya tak ada yang mengerti kenapa belokan dari Beta lebih dramatis jika dibandingkan dengan Alfa? Kenapa tingkat kereaktifan suatu gugus harus seperti itu dan bukan sebaliknya? Kenapa TNT berfungsi sebagai peledak dan bukan bertukar dengan paracetamol saja?
Sudahlah aku sedang tak ingin berfikir.

Melihat jalan di luar begitu menggiurkan, dengan berbagai lampu-lampu berawarna yang menggoda, dengan betapa luasnya tempat yang aku pijak jika ada di sana, tanpa dibatasi dengan kotak-kotak tak bernyawa yang selalu mendengar keluh kesahku dengan diamnya. Begitu menarik dengan udara bebas yang akan kuhirup, tanpa ada barang-barang yang menuntut disentuh, tanpa ada telepon-telepon yang meraung.

Tiba. Di sini aku berpijak sekarang, dimana tempat yang sebelumnya kusebut "di sana".
Dingin. Tanpa kotak-kotak itu rasanya dingin, menusuk, tapi tidak akan membunuh. Udaranya membelai dengan lembut, menyentuh, menggoda, untuk membuatku ingin bergerak, mengikuti gerakannya, berlari, terdiam, berputar, melompat, terbang. Sedetik kemudian, aku tersadar, aku berbeda, aku tak bisa terbang dalam arti sebenarnya, aku hanya merasakan apa yang ia rasakan, aku menyukainya.
Hening. Hening. Yang kudengar hanya desiran angin yang mencoba mengajakku berbicara dan bersenandung, mengajarkan lagu-lagu merdu mereka di malam hari. Aku mencoba mengerti mencoba memahami, mencoba sebisa mungkin melakukan apa yang mereka lakukan. Aku menjadi mereka, tanpa kesadaranku. Dan mereka menjadi aku tanpa kesadarannya. Aku bergerak bersuara bertingkah menari dan terbang layaknya apa yang mereka lakukan, sampai aku tak terlihat. Lenyap. Seperti mereka.
Aku bersyukur.

Tak terasa, mereka semakin bertambah yang artinya semakin dingin, semakin larut. Tiba-tiba sepasang cahaya menusuk mataku, pandanganku kabur, mereka berusaha menarikku pergi dari situ, sebagian memaksaku kembali ke asalku, tapi aku tak ingin, aku meronta. Hingga tubuhku terhempas, pandanganku kabur, aku tak berdaya. Tapi mereka lebih jelas sekarang, berwujud seperti aku, berusaha membantuku bangkit, tapi tak ada hasil.
Dan di sini aku sekarang, terbujur tak berdaya diselimuti mereka yang semalam bermain bersamaku. Perlahan semua menjadi hangat dan semakin hangat, matahri datang. Tapi aku tetap di sini, tak mampu bergerak, ditemani mereka yang menyejukkanku. Mungkin suatu saat, jika aku tetap dalam keadaan seperti ini, mereka akan membawaku ke tempat yang begitu dingin dan singkat.
Iya. Aku masih bersyukur.


No comments:

Post a Comment