Semua
orang tahu. Hidup pasti berakhir.
Semua
orang tahu. Kematian sudah ditentukan.
Semua
orang memahami. Kematian. Adalah salah satu substansi kepedihan.
Tapi,
tetap saja. Siapa yang bisa menghindar? Siapa yang bisa menyangkal? *zink*
Tidak ada. Hanya Tuhan.
Salah
satu dosen saya berkata, “Hidup untuk makan. Makan untuk hidup”. Tidak. Itu
hanya gurauan bertemakan mata kuliah, teman. Tapi kalimat itu seolah masuk dalam
kepala saya dan bermetmorfosa menjadi ungkapan yang berbeda, “Hidup untuk mati.
Mati untuk hidup”. Benarkan?
Semua
berawal dari mati atau ‘ketiadaan’ yang menjadi ada dalam bentuk kehidupan,
menurut salah satu dosen saya (lagi) “manusia hidup dengan diberi ‘nazamah’”, lalu mati lagi hilang terbawa
alur kehidupan roh. Ada yang bilang “Hilang. Terbakar api naar”, ah entah saya
juga tak paham apa maksud pesan itu. Mungkin cara berfikir saya tak sanggup
mencapai dia yang begitu cerdas dan begitu jauh saat ini.
Dahulu,
saya tak begitu paham dengan itu semua. Yang saya tahu, sekadar tahu, kata
mereka, “yang ditinggal bersedih yang meninggal bahagia”. Tapi, bukankah
bersedih atau bahagianya yang ditinggalkan atu yang meninggalkan relative pada
perbuatan baiknya, yang dalam salah satu mata kuliah saya hanya boleh disebut “perilaku” dan bukan “iblislaku”. Got it? Sudahlah. Cukup saya
dan yang mempelajari mata kuliah itu yang paham masalah ini.
Sebagian
dari kalian mungkin pernah mengalami yang tersebut di atas. Atau mungkin belum.
Sebagian dari kita mungkin pernah merasakan tetesan airmata yang keluar begitu
saja tanpa kita suruh, tanpa kita meminta, tanpa kita memaksa. Sebagian dari
kita, mungkin, pernah atau belum merasakan rasa sakit, atau yang sering kita
sebut ‘nyesek’ saat semua kenangan-kenangan yang tak mungkin kembali itu
seperti berputar-putar, menari-nari dengan elegannya di otak. Tapi kata mereka,
“Tak boleh terlalu larut. Ini hidup. Seperti itulah. Ada yang dating ada yang
pergi. Pergi untuk menunggumu, di tempat terbaik’.
Selamat
jalan. Sampai jumpa. Kalian.
No comments:
Post a Comment